BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Dalam
kehidupan sehari-hari kita sangat membutuhkan sayuran. Sayuran dibutuhkan
sebagai bahan tambahan pangan untuk pendamping makanan. Khusunya orang
Indonesia sangat menyukai lalapan dengan sayuran. Lalapan tersebut ada yang
dimasak ataupun dimakan mentah.
Salah
satu daerah di Indonesia yang mana semua lalapan tersebut dihidangkan secara
mentah (tidak dimasak).
Tidak
semua sayuran yang kita makan secara mentah itu aman untuk dikonsumsi, karena
kemungkinan besar adanya telor cacing yang berukuran mikro tidak tampak oleh
mata kita.
Untuk
mengetahui sayuran itu aman atau tidak dimakan secara langsung (tidak dimasak)
maka praktikan melakukan praktikum pemeriksaan identifikasi sayuran.
Dalam
laporan ini praktikan mencoba menjelaskan sedikit tentang pemeriksaan
identifikasi sayuran.
B.
Tujuan
1.
Mahasiswa dapat mengetahui adanya cacing
disayuran
2.
Mahasiswa dapat terampil melakukan
praktikum
C.
Manfaat
1.
Mahasiswa bisa mengetahui adanya cacing
disayuran
2.
Mahasiswa bisa terampil melakukan
praktikum
BAB II
TI NJAUAN
PUSTAKA
Sayuran
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah jenis daun-daunan, tumbuh-tumbuhan
, polong atau biji-bijan yang dapat dimasak. Sayuran ditanam di atas permukaan
tanah. Tanah tersebut apakah terkontaminasi ataupun tidak.
Tanah
merupakan sumber penularan yang paling utama dan terpenting untuk berbagai
parasit. Penyakit-penyakit parasit yang menular dari tanah disebut Soil-borne
parasitoses. Sebagian besar stadium infektif parasit itu terdapat di tanah.
Telur yang mengandung larva infektif parasit (cacing askarid, seperti Ascaris,
Neosacaris, Parascaris, Ascaridia, Heterakis, Toxacaris) semuanya terdapat di
tanah. Larva infektif berbagai cacing nematoda berbentuk filariform (cacing
Strongyloides sp. atau cacing tambang), bentuk ookista protozoa parasit seperti
Entamoeba, Jodamoeba, dan sebagainya. Semua bentuk infektif tersebut ditemukan
ditanah. Stadium parasit-parasit itu tahan hidup berminggu-minggu bahkan
berbulan-bulan, asal keadaan tanah serasi bagi kelangsungan hidupnya.
Manusia merupakan hospes dari cacing Trichuris trichiura atau lebih dikenal sebagai cacing cambuk. Penyakit yang disebabkannya disebut trikuriasis. Cacing betina Trichuris trichiura panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina bentuknya membulat tumpul dan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu buah spikulum.
Menurut Gandahusada (1998),
Manusia merupakan hospes dari cacing Trichuris trichiura atau lebih dikenal sebagai cacing cambuk. Penyakit yang disebabkannya disebut trikuriasis. Cacing betina Trichuris trichiura panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina bentuknya membulat tumpul dan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu buah spikulum.
Menurut Gandahusada (1998),
morfologi
telur Trichuris trichiura adalah telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron,
berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua
kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya
jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes (manusia) bersama tinja.
Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3 sampai 6 minggu dalam lingkungan
yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang
ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Cara infeksi
langsung ialah bila secara kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar
melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa,
cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum.
Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina
meletakkan telur kira-kira 30-90 hari.
Penderita terutama anak-anak dengan infeksi Trichuris yang berat dan menahun, menunjukkan gejala-gejala nyata, seperti diare, yang sering diselingi denagn sindrom disentri, anemia, dan berat badan turun.
Semakin banyak telur yang ditemukan di sumber kontaminasi (tanah, debu, sayuran, dan lainnya), semakin tinggi derajat endemi di suatu daerah. Jumlah telur yang dapat berkembang, menjadi semakin banyak pada masyarakat dengan infeksi yang semakin berat, karena terdeteksi di sembarang tempat, khususnya di tanah, yang merupakan suatu kebiasaan sehari-hari. (Gandahusada, 1998).
Penderita terutama anak-anak dengan infeksi Trichuris yang berat dan menahun, menunjukkan gejala-gejala nyata, seperti diare, yang sering diselingi denagn sindrom disentri, anemia, dan berat badan turun.
Semakin banyak telur yang ditemukan di sumber kontaminasi (tanah, debu, sayuran, dan lainnya), semakin tinggi derajat endemi di suatu daerah. Jumlah telur yang dapat berkembang, menjadi semakin banyak pada masyarakat dengan infeksi yang semakin berat, karena terdeteksi di sembarang tempat, khususnya di tanah, yang merupakan suatu kebiasaan sehari-hari. (Gandahusada, 1998).
Yang
terpenting untuk penyebaran penyakit ini adalah kontaminasi tanah dengan tinja.
Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab dan teduh dengan suhu optimum
kira-kira 300C. di berbagai Negara, pemakaian tinja sebagai pupuk kebun
merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia termasuk tinggi. Di beberapa
daerah pedesaan di Indonesia, frekuensinya berkisar antara 30-90%.
Bagi daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negara-negara yang memakai tinja sebagai pupuk. (Gandahusada, 1998).
Bagi daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negara-negara yang memakai tinja sebagai pupuk. (Gandahusada, 1998).
BAB III
PELAKSANAAN
KEGIATAN
A.
Waktu
dan Tempat pelaksanaan
1. Hari/Tanggal
: Jum’at, 24 Mei 2013
2. Waktu
: Pukul 09.00-selesai
3. Tempat
: Laboratorium mikrobiologi
B.
Jenis
kegiatan
Identifikasi telur dan
larva cacing
C.
Alat
dan bahan
1.
Alat
a) Breaker Glass 1000 ml
b) Gelas Kerucut dengan Perangkatnya (imhoff)
c) Pipet
d) Kain Kasa / Sujan
e) Sentrifug dan Tabung
f) Mikroskop
g) Gelas Benda
h) Gelas Penutup
i)
Kertas Tissue
j)
Kawat Ose
k) Tabung Reaksi
2.
Bahan
a) Sampel sayuran bayam
b) Larutan Garam Faal (NaCl 0,9%)
c) Eosin 2%
d) Larutan Lugol 5%
e) Larutan ZnSO4 33%
f) Larutan Yodium
g) NaCl jenuh
h) Mg SO4
i)
NaOH
D.
Cara
kerja
1. Memotong
sampel sayuran bayam
2. Menimbang
NaOH 0,2% atau seberat 2 gram.
3. Membuat
larutan NaOH 0,2% pada 1 liter air kran
4. Merendam
sayuran di dalam larutan NaOH 0,2% sambil diaduk sampai warna daun sayuran
berubah menjadi lebih agak putih. Atau ± 30 menit. (lampiran gambar 1.1)
5. Memasukkan
sayuran yang diaduk menggunakan larutan NaOH 0,2% ke dalam Gelas Kerucut dengan Perangkatnya (imhoff), diamkan selama satu jam,
sampai terjadi pengendapan. (lampiran gambar 1.2)
6. Mengambil
endapan 10-15 ml dan memasukkan ke dalam (lampiran gambar 1.3)
Sentrifug dan putar selama 5
menit dengan kecepatan 1500rpm.
7. Membuang
cairan yang berada di atas tabung.
8. Menyiapkan
Larutan Garam Faal (NaCl 0,9%), Eosin
2%, Larutan Lugol 5%, dan kaca benda
9. Mengambil
endapan menggunakan jarum ose, dan menempelkannya pada kaca benda yang telah
ditetesi satu tetes NaCl 0,9%, Eosin 2%,
Larutan Lugol 5%, mencampur agar homogen.
10. Menutup
kaca benda menggunakan kaca Penutup.
11. Memeriksa
di mikroskop dengan pembesaran 10x10 ataupun 10x40.
BAB IV
HASIL DAN
PEMBAHASAN
A.
Hasil
Pada praktikum yang
kami lakukan tidak ditemukaan adanya telur cacing ataupun cacing. Artinya
identifikasi sayuran bayam hasilnya negatif.
B.
Pembahasan
Dalam pemeriksaan
sayuran ditujukan agar mahasiswa dapat mengetahui apakah sayuran mengandung
cacing ataupun tidak. Dalam praktik yang penulis lakukan, penulis tidak
menemukan adanya cacing ataupun telurnya pada sayuran bayam. Kemungkinan
sayuran tersebut bebas dari cacing. Atau penulis yang kurang teliti dalam
melakukan pemeriksaan. Untuk itu ketelitian dalam meliat objek di mikroskop
harus teliti.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Sayuran
merupakan jenis makanan yang paling banyak dikonsumsi manusia dan paling mudah
terkontaminasi oleh parasit, khususnya parasit yang berasal dari tanah karena
sayuran memiliki kontak langsung dengan tanah.
2. Dari
hasil praktikum pemeriksaan parasit pada sayuran, dapat diketahui bahwa pada
sayuran bayam yang diperiksa tidak terdapat parasit.
B.
Saran
1. Untuk
mencegah terjadinya penyakit akibat kontaminasi bakteri pada sayuran, makanya
hendaknya mencuci sayuran terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Dan kalau bisa
dimasak jangan dimakan langsung.
2. Lebih
teliti dalam melaksanakan pengamatan di atas mikroskop.
DAFTAR PUSTAKA
Gandahusada,
S.H. Ilahude, W. Pribadi. 1998. Parasitologi Kedokteran. Balai Penerbitan FKUI,
Jakarta.
Onggowaluyo,
Jangkung Sumidjo. 2001. Parasitologi Medik I (Helmintologi). EGC, Jakarta.
Rubatzky,
Vincent E., dan Mas Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia : Prinsip, Produksi, dan Gizi
Jilid 2. ITB Press, Bandung.
Slamet,
S.J. 2002. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Widyastuti,
Retno dkk. 2002. Parasitologi. Universitas Terbuka, Jakarta.